Provokasi Prof. Ng Aik Kwang

Senin, 27 Oktober 2014

Saya dapat tulisan bagus dari milis alumni ITB (pengirim: Bekti Istiyanto) tentang mengapa bangsa Asia kalah kreatif dari bangsa Barat. Bagus isi tulisannya, memberi inspirasi meskipun provokatif. Saya bagi di sini untuk semua pembaca setelah saya sunting tata bahasa seperlunya. Oh ya, setelah membaca tulisan ini saya lebih sepakat bangsa Asia yang dimaksud oleh Prof tersebut lebih tepat Indonesia, tidak bisa digeneralisir untuk Korea, Jepang, dan China yang terkenal kreatif.


Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dari bangsa Barat?
Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi best seller(klik situs ini) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang:
1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta trthadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.
2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir diterima sebagai sesuatu yang wajar.
3. Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6. Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah
8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atauworkshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber untuk minta penjelasan tambahan.
Di dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sbb:
1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya
3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar2 dikuasainya
4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg lebih cepat menghasilkan uang
5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan..sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.
Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi

Kurikulum baru dan Kritik dalam Pembaharuan - Sindo, 07 Maret 2013

Kamis, 23 Oktober 2014

“Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It calls attention to an unhealthy state of things.”
― Winston Churchill

Dahlan Iskan pernah menyebutkan dalam setiap perubahan selalu saja ada kelompok 10% yang baiknya "dieman-eman" (istilahnya) saja. Pokoknya mereka akan selalu menentang.  Di komunitas perubahan, kami biasa menyebut kelompok itu sebagai "oposan abadi".  Kelompok ini unik dan kalau kita mengerti cara berpikirnya, sebenarnya bisa menjadi hiburan ketimbang menjadi lawan yang menegangkan. Mereka terdiri dari orang-orang yang bereaksi paling keras setiap kali ada perubahan.  Namun begitu hasil perubahan ada, pelahan-lahan mereka diam juga, lalu mengangkat kritik pada topik lain. Tetapi dasarnya tetap sama, senang diperhatikan, senang memarahi, senang dianggap pandai atau penting.  Ganggu sedikit, colek yang banyak, sukur-sukur bisa masuk tv, walau cuma sekali-kali. Itu sudah menghibur hati.  Sudah masuk dalam daftar CV untuk kegiatan lebih jauh.

Tetapi Winston Churchill seperti kutipan di atas menyebutkan, sekalipun Anda tak setuju, kritik itu perlu. Ngga apa- apa, apalagi di abad transformasi, abad perubahan di negeri demokrasi.  Kritik katanya, ibarat rasa sakit dalam tubuh manusia, pertanda perlunya perhatian untuk merawat kesehatan. Hanya saja, ia juga pernah mengatakan kritik itu ada lima macam. Pertama, kritik yang tulus, bertujuan mengingatkan.  Kedua kritik yang bertujuan cari keuntungan. Ketiga, kritik untuk mengatasi rasa takut. Keempat, kritik cari perhatian. Dan kelima, kritik untuk menunjukkan identitas.

Demikianlah kritik terhadap kurikulum baru.  Saya kira lima-limanya ada.  Mereka hanya dapat dibedakan dari apa yang mereka kerjakan.  Kalau orangtua yang punya anak gelisah menghadapi kurikulum baru yang tidak jelas, saya kira wajar.  Tapi juga ada khawatir yang besar dari ketidakpahaman sesuatu yang baru, sehingga seakan-akan nasibnya akan terlunta-lunta. Sejumlah ilmuwan yang melihat subjeknya "tak ada lagi" dalam susunan mata ajaran segera bereaksi.  Tetapi benarkah subjeknya dihapuskan? Mungkin ini cara berpikir saja.  Atau mungkin ini pertanda pemerintahan tidak sehat, kejelasan tidak ada, sehingga alih-alih menimbulkan dukungan, yang terjadi justru kritik yang tajam.  Saya sendiri ikut kecipratan amarah, meski hanya menulis dari apa yang saya pelajari dan saya alami. Lumayan, belajar meregangkan urat syaraf.

Tapi benar kata Dahlan Iskan. Ini layak dieman-eman, lumayan bisa menghibur.  Kalau ilmuwan marah, selain ada yang benar, ada juga yang lucu.  Bukan logika yang dicari seperti layaknya ilmuwan sejati yang open mind, tapi kalimat nggak penting yang menyinggung perasaannya.  Kalimat itu dikutip dalam pesan twitter, lalu dikomentari dengan gaya dosen zaman dulu yang uring-uringan memeriksa paper mahasiswa.  Lalu dari situ diharapkan mendapat dukungan dari komunitas yang tentu saja menjawab dengan jenaka dan lucu-lucuan juga.  Sebuah pergumulan yang indah yang kadang membingungkan bagi yang lain.

Menghujat Kurikulum Lama 
 Kalau Anda sempat mengumpulkan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, maka Anda mungkin tahu sudah lama  saya  menunjukkan perhatian tentang pentingnya reform pada sistem ini.  Kalau Anda googling nama saya dengan kata-kata kunci berikut ini, maka Anda akan menemukan pemikiran-pemikiran itu: Encouragement, Race of Going Nowhere, Sekolah 5 cm, Myelin, Passport, Sekolah untuk Apa, Tallent Merrit Vs Exam Merrit, Generasi Bingung Bahasa, RSBI, Generasi Baru, dan seterusnya.

Di media ini saya juga berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa di sini sudah kelewat batas, bahkan yang terbanyak di dunia.  Saya berulangkali mengatakan akibat-akibatnya sangat menyengsarakan anak didik: siswa yang bingung, tidak kreatif, tidak bisa mengungkapkan isi pikiran dengan baik, dan kecemasan yang tampak dari tingginya angka kesurupan menjelang UN.  Kritik-kritik itu pun disertai jalan keluar yang saya tunjukkan dalam kajian.

Lantas, saat pemerintah meresponsnya dengan hadirnya kurikulum baru, tentu saja saya menyambutnya dengan gembira. Jumlah mata ajaran dikurangi. katanya, suasana gembira harus ditumbuhkan agar anak-anak generasi baru tidak lagi stress dalam belajar di sekolah.  Ini persis sama dengan yang sering saya suarakan.

Saya masih ingat saat diminta Rektor Universitas Andalas Padang, prof. Musliar Kasim  memberi paparan ilmiah di kampusnya, semua akar permasalahan pada dunia pendidikan dan kewirausahaan saya paparkan. Dan tak lama setelah  prof. Musliar menjadi Wakil Menteri Pendidikan, ia pun meresponsnya dengan kurikulum baru.  Saya sendiri tak tahu persis bagaimana Mendikbud merumuskan kurikulum baru, tetapi saya dengar mereka mengumpulkan tokoh-tokoh pendidikan dan kaum cendekia.  Saya sendiri  tak termasuk di dalamnya, tetapi sikap saya tidaklah berseberangan, sebab tujuannya sudah sama.  Namun entah apa yang terjadi, tampaknya banyak juga tokoh pendidikan yang tak diundang bicara, tapi juga tak diajak mengerti. Akibatnya kritik mereka tumpah di berbagai tempat.  Dari kajian change management, pro-kontra ini menarik untuk dikaji.

Dari amarah itu saya menemukan kalimat-kalimat menarik yang diucapkan secara verbal, bahwa "kurikulum baru ini dipastikan gagal".  Ini menarik sekali.  Bagi masyarakat, jelas saja belum, dimulai juga belum, dengar saja cuma dari jauh, apalagi kalau tak terlibat dalam pergulatan perubahan, tetapi sudah ada yang berani menjamin kurikulum ini "pasti gagal". Bisa diduga karena kredibilitas pemerintahan yang didera kasus korupsi terus menerus ini turut memberi imbas.

Dari diskusi internal para pakar yang diselenggarakan Mendikbud itu, saya mendengar ada usulan yang sangat extrem, yaitu bagaimana agar anak-anak di sekolah dasar "dimerdekakan" dari proyek-proyek buku, dari beban yang berlebihan. Usulan extrem-nya adalah, "bila perlu, untuk anak SD mata ajar cukup satu saja, yaitu Manusia dengan Alam Sekitarnya".

Saya teringat lima tahun lalu saya pernah menyampaikan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) agar "rela" memangkas mata ajaran yang sudah kebanyakan.  Korbannya ya tentu saja anak-anak kita, anak saya dan anak-anak Anda.  Tetapi apa respons Dirjen Dikdasmen?  "Itu masalahnya bukan di kami, melainkan ada di UU Sisdiknas". Penasaran dengan itu saya pun membuka UU itu, dan disitu saya membaca masalahnya.  Nama-nama subjek yang disebut harus ada dalam sistem pendidikan nasional (seperti agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain) ternyata diterjemahkan jadi mata ajaran, yang tentu saja berarti "proyek" bagi penerbit buku dan politisi yang berhubungan dengannya, dan inilah yang berakibat jumlah mata ajaran di tingkat SMU mencapai 18 hingga 24. Padahal di berbagai negara maju, jumlah mata ajar hanya 6 dengan mata ajar wajib hanya 2 (Bahasa Inggris dan Matematika).

Maka bagi saya, wajarlah saat Mendiknas "berani" memangkas mata ajaran itu.  Politiknya saya tak mengerti. Tapi tentu saja saya was-was karena kabinet ini hanya punya waktu setahun lebih. Was-was kalau kurikulum baru ini kelak dianulir lagi oleh penerusnya pada pemerintahan baru dan anak didik kembali harus berurusan dengan beban lama.  Apalagi kalau filosofinya tidak sama dan biaya politiknya yang harus ditarik kembali lebih besar.  Masih banyak pula yang berpikir kalau anak-anak diberi mata ajar yang banyak maka mereka akan lebih hebat. Banyak yang berpikir belajar itu ya di sekolah. Maka kurikulum sekolah dipadatkan dan peran orang tua diambil alih semua oleh sekolah.

Logika Keaksaraan 
Salah satu ilmuwan yang terganggu oleh kurikulum baru tentu saja mathematician karena mata ajar ini tidak tiba tak disebut dalam kurikulum baru untuk Sekolah Dasar. Saya kira bukan hanya mathematician yang wajib bertanya, melainkan kita semua.  Dalam social science seperti yang saya geluti saja, math menjadi bahasa yang penting.  Maka itu sayapun mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud dan juga kepada Wakil Menteri. Namun jawabannya mudah saya pahami:  Matematika tidak dihapus, tetapi melebur terintegrasi dalam kesatuan dengan yang lain.

Saya tentu bukan juru bicara Mendikbud, tetapi saya kira saya bisa mengerti dengan mudah, namun bagaimana awam dan imuwan lainnya? Ini perlu kerja khusus untuk membuat masyarakat paham sebab masih banyak diantara kita yang menggunakan paradigma lama dalam melihat dunia baru, termasuk pendidikan.  Saya masih ingat saat beberapa sekolah tertentu menerapkan metode integratif, pertanyaan juga banyak diberikan oleh orangtua, bahkan banyak yang tiba-tiba menarik anaknya keluar.  Baru belakangan ini masyarakat menyadarinya, memang dunia baru sudah berbeda dan Indonesia butuh lulusan-lulusan baru yang tak hanya pandai bagi dirinya sendiri, melainkan juga gaul, bisa berkomunikasi dengan baik, kreatif, kaya perspektif dan mampu mengendalikan emosinya.

Lantas bagaimana saya memahami hal ini?  Ceritanya begini, salah satu pergulatan yang digumuli Yayasan Rumah Perubahan adalah pendidikan, khususnya anak-anak usia dini dan balita pra sekolah.  Kami menaruh perhatian untuk memberikan fondasi yang kuat pada anak-anak kampung yang kami lihat selalu termarjinalkan, dan kalah dalam pertarungan kehidupan melawan anak-anak kelas menengah. Dari pergaulan dengan para pendidik itulah saya diperkenalkan dengan metode Sentra yang belakangan mulai banyak diadopsi.  Celakanya metode ini sangat tidak dikenal ilmuwan tua.  Meski tak diajarkan membaca dan berhitung, dalam metode sentra, anak-anak sudah biasa diajak bernalar keaksaraan.

Ambil contoh saja dalam sentra bahan alam, diberikan berbagai permainan dengan media tertentu, bisa biji-bijian, bahan cair, tumbuh-tumbuhan, serangga, pasir dan sebagainya.  Pada saat sentra ini diperankan, sekaligus anak-anak mendapatkan banyak hal mulai dari klasifikasi, logika volume, bentuk, ukuran, menemukan warna baru, menghitung, berbahasa, bertutur, imajinasi dan seterusnya.  Saya bisa bercerita banyak dari proses pembelajaran yang hingga hari ini masih terus kami alami yang membuat istri saya tak ingin melepaskan waktu barang sedetikpun mengamati anak-anak didiknya. Logika keaksaraan dibangun dengan fondasi yang menurut hemat saya jauh lebih kokoh daripada menurunkan rumus di papan tulis yang lalu dihafalkan, atau didikte oleh guru spesialis yang hanya paham matematika saja.

Beranjak dari pemahaman metode sentra ( yang harus saya akui ilmu saya belum seberapa ini) mungkin saya bisa lebih mudah memahami makna pendekatan integratif yang sering diucapkan Mendiknas dalam kurikulum baru.

Namun apakah anda masih akan menyangsikan bahwa guru-guru kita akan mampu menjalankannya? Wallahu A'lam, saya tak tahu persis. Apalagi birokrasi kita masih kusut seperti ini.  Tetapi saya mau menyampaikan kepada anda, sekolah yang kami asuh tidak diajar oleh guru-guru bependidikan S1 atau S2.  Guru-guru kami adalah orang kampung yang bersahaja yang disekolahkan kembali. Mereka adalah ibu rumah tangga yang juga punya anak-anak kecil biasa yang mencintai anak-anak.  Nah, kalau mereka saja bisa, apa iya guru-guru kita sebodoh yang diduga para elit? Saya kurang bisa mempercayai itu.  Meski mereka orang kampung, mereka bisa membuka mesin pencari Google dan memberi kita kalimat ini:  “Don't criticize what you can't understand.”  ― Bob Dylan

Dalam peradapan continous improvement, lebih baik kita mengulurkan tangan kecerdasan kita untuk memperbaharui pendidikan daripada adu pandai, saling mengunci.  Kritik itu perlu, bagus buat membuat kementerian lebih bersungguh-sungguh. Tetapi membuat jembatan untuk masa depan jauh lebih indah daripada saling menakut-nakuti.  Kurikulum ini hanya akan jadi bagus kalau ia terus disempurnakan dengan logika baru yang lebih humanistik dan kreatif.  Apalagi masa kerja kabinet ini cuma tinggal setahun lagi.


Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Dinukil dari http://rhenald-kasali.blogspot.com/2013/03/kurikulum-baru-dan-kritik-dalam.html

SIAPA YANG TIDAK INGIN MENJADI IBU SEPERTI BELIAU ?

Senin, 20 Oktober 2014

Tiga anaknya tidak sekolah di sekolah formal layaknya anak-anak pada umumnya. Tapi ketiganya mampu menjadi anak teladan, dua di antaranya sudah kuliah di luar negeri di usia yang masih sangat muda. Saya cuma berdecak gemetar mendengarnya. Bagaimana bisa?
Namanya Ibu Septi Peni Wulandani. Kalau kita search nama ini di google, kalian akan tahu bahwa Ibu ini dikenal sebagai Kartini masa kini. Beliau seorang ibu rumah tangga profesional, penemu model hitung jaritmatika, juga seorang wanita yang amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesia. Seorang wanita yang ingin mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita seutuhnya.
Beliau bercerita kiprahnya sebagai ibu rumah tangga yang mendidik tiga anaknya dengan cara yang bahasa kerennya anti mainstream. It’s like watching 3 Idiots. But this is not a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia.
Semuanya berawal saat beliau memutuskan untuk menikah.
 Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran.
Akhirnya beliaupun menikah. Pernikahan yang unik. Sepasang suami istri ini sepakat untuk menutup semua gelar yang mereka dapat ketika kuliah. Aksi ini sempat diprotes oleh orang tua, bahkan di undangan pernikahan mereka pun tidak ada tambahan titel/ gelar di sebelah nama mereka. Keduanya sepakat bahwa setelah menikah mereka akan memulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka akan belajar dari mana saja. Pasangan ini bahkan sering ikut berbagai kuliah umum di berbagai kampus untuk mencari ilmu. Gelar yang mereka kejar adalah gelar almarhum dan almarhumah. Subhanallah. Tentu saja tujuan mereka adalah khusnul khatimah. Sampai di sini, sudah kebayang kan bahwa pasangan ini akan mencipta keluarga yang keren?
Ya, keluarga ini makin keren ketika sudah ada anak-anak hadir melengkapi kehidupan keluarga. Dalam mendidik anak, Ibu Septi menceritakan salah satu prinsip dalam parenting adalah demokratis, merdekakan apa keinginan anak-anak. Begitupun untuk urusan sekolah. Orang tua sebaiknya memberikan alternatif terbaik lalu biarkan anak yang memilih. Ibu Septi memberikan beberapa pilihan sekolah untuk anaknya: mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau tidak sekolah? Dan wow, anak-anaknya memilih untuk tidak sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak mencari ilmu kan? Ibu Septi dan keluarga punya prinsip: Selama Allah dan Rasul tidak marah, berarti boleh. Yang diperintahkan Allah dan Rasul adalah agar manusia mencari ilmu. Mencari ilmu tidak melulu melalui sekolah kan? Uniknya, setiap anak harus punya project yang harus dijalani sejak usia 9 tahun. Dan hasilnya?
Enes, anak pertama. Ia begitu peduli terhadap lingkungan, punya banyak project peduli lingkungan, memperoleh penghargaan dari Ashoka, masuk koran berkali-kali. Saat ini usianya 17 tahun dan sedang menyelesaikan studi S1nya di Singapura. Ia kuliah setelah SMP, tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah dengan biaya sendiri bermodal menjadi seorang financial analyst. Bla bla bla banyak lagi. Keren banget. Saat kuliah di tahun pertama ia sempat minta dibiayai orang tua, namun ia berjanji akan menggantinya dengan sebuah perusahaan. Subhanallah. Uang dari orang tuanya tidak ia gunakan, ia memilih menjual makanan door to door sambil mengajar anak-anak untuk membiayai kuliahnya.
Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak.
Elan, si bungsu pecinta robot. Usianya masih amat belia. Ia menciptakan robot dari sampah. Ia percaya bahwa anak-anak Indonesia sebenarnya bisa membuat robotnya sendiri dan bisa menjadi kreatif. Saat ini, ia tengah mencari investor dan terus berkampanye untuk inovasi robotnya yang terbuat dari sampah. Keren!
Saya cuma menunduk, what I’ve done until my 20 Banyak juga peserta yang lalu bertanya, “kenapa cuma 3, Bu?” hehe.
Dari cerita Ibu Septi sore itu, saya menyimpulkan beberapa rahasia kecil yang dimiliki keluarga ini, yaitu:
1. Anak-anak adalah jiwa yang merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan
2. Anak-anak sudah diajarkan tanggung jawab dan praktek nyata sejak kecil melalui project. Seperti yang saya bilang tadi, di usia 9 tahun, anak-anak Ibu Septi sudah diwajibkan untuk punya project yang wajib dilaksanakan. Mereka wajib presentasi kepada orang tua setiap minggu tentang project tersebut.
3. Meja makan adalah sarana untuk diskusi. Di sana mereka akan membicarakan tentang ‘kami’, tentang mereka saja, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan apa yang dilakukan? Oh ya, keluarga ini juga punya prinsip, “kita boleh salah, yang tidak boleh itu adalah tidak belajar dari kesalahan tersebut”. Bahkan mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut dengan “false celebration”.
4. Rasulullah SAW sebagai role model. Kisah-kisah Rasul diulas. Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka di usia sekian berarti kita juga harus begitu. Karena alasan ini pula Enes memutuskan untuk kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak dikenal sebagai anak dari orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat.
5. Mempunyai vision board dan vision talk. Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana-mana. Dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, mereka akan share mimpi-mimpi mereka. Prinsip mimpi: Dream it, share it, do it, grow it!
6. Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari nilai
7. Mereka punya prinsip harus jadi entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar dari pekerjaannya di suatu bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia dapat selama bekerja ia terapkan di bisnisnya.
8. Punya cara belajar yang unik. Selain belajar dengan cara home schooling di mana Ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai sumber, keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah proses belajar hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke perusahaan besar dan mengajukan diri menjadi karyawan magang. Jangan tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja. Ngepel, membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang penting, mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin perusahaan atau seorang yang ahli setiap hari selama magang.
9. Hal terpenting yang harus dibangun oleh sebuah keluarga adalah kesamaan visi antara suami dan istri. That’s why milih jodoh itu harus teliti. Hehe. Satu cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta
10. Punya kurikulum yang keren, di mana fondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.
11. Di-handle oleh ibu kandung sebagai pendidik utama. Ibu bertindak sebagai ibu, partner, teman, guru, semuanya.
Daaaan masih banyak lagi. Teman-teman yang tertarik bisa kepo twitter ibu @septipw atau gabung dan ikut kuliah online tentang keiburumahtanggaan diibuprofesional.com.
Hhhhmmm. Gimana? Profesi ibu rumah tangga itu profesi yang keren banget bukan? Ia adalah kunci awal terbentuknya generasi brilian bangsa. Saya ingat cerita Ibu Septi di awal kondisi beliau menjadi ibu rumah tangga. Saat itu beliau iri melihat wanita sebayanya yang berpakaian rapi pergi ke kantor sedangkan beliau hanya mengenakan daster. Jadilah beliau mengubah style-nya. Jadi Ibu rumah tangga itu keren, jadi tampilannya juga harus keren, bahkan punya kartu nama dengan profesi paling mulia: housewife. So, masih zaman berpikiran bahwa ibu rumah tangga itu sebatas sumur, kasur, lalala yang haknya terinjak-injak dan melanggar HAM? Duh please, housewife is the most presticious career for a woman, right? Tapi semuanya tetap pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi. Jadi apapun kita, semoga tetap menjadi pendidik hebat untuk anak-anak generasi bangsa.
Dari kisah di atas, saya juga menarik kesimpulan bahwa seminar kepemudaan tidak melulu bahas tentang organisasi, isu-isu negara, dan lain-lain yang biasa dibahas. Pemuda juga perlu belajar ilmu parenting untuk bekal dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Bukankah dari keluarga karakter anak itu terbentuk?
Wallahualambisshawab. Semoga ada yang bisa diambil pelajaran.
Dinukil dari mbak Himsa di www.azaleav.wordpress.com
Diposting ulang oleh www.facebook.com/Hamilea